Sekilas tentang Jakarta (2)

Di suatu siang di kantin kampusku tercinta, aku sedang menikmati makan siangku. Nasi putih ditemani ayam goreng dan teh hangat. Setelah selesai, aku segera pergi ke pemilik kantin untuk membayar menu yang kumakan tadi. "Semuanya jadi Rp 16,000." Katanya.

Itu mungkin hal yang biasa bagi orang yang telah lama tinggal di Jakarta namun bagiku, yang baru sebulan tinggal di Jakarta, itu adalah sebuah kejutan yang cukup hebat. Sebab di Semarang aku terbiasa membayar setengahnya untuk menu tadi.

Jakarta adalah kota yang mahal, baik mahal dalam gaya hidup maupun biaya hidup, jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Secara gaya hidup, orang Jakarta terbiasa hidup dalam kebudayaan materialistis dimana orang yang memiliki barang, sekalipun tidak tahu kegunaannya, selama harganya mahal akan sangat dihargai dan dihormati oleh orang lain di sekitarnya. Namun rasa hormat ini tidak selalu
menjurus ke arah positif karena mulai dari sekedar menghormati, kemudian mengamati, lama-lama menjadi iri dan tertarik untuk ikut membeli juga.

Masih membicarakan tentang gaya hidup, kita coba beralih ke tempat nongkrong. Kalau membicarakan tempat nongkrong anak muda di Jakarta, kuyakin jawabannya pasti tidak akan jauh-jauh dari mall atau, menurut beberapa orang, kalau lagi bokek ya ke Sevel (Seven Eleven) bolehlah. Semua orang pasti tahu bahwa mall di Jakarta adalah tempat dimana uang tidak akan bisa bertahan lama di kantong mengingat biaya yang kita keluarkan selama berada di sana mulai dari parkir sampai dengan makanan ringan itu bisa sama dengan gaji minimum pembantu rumah tangga. Namun anehnya mereka tetap betah berlama-lama nongkrong di mall. Yah, kurasa itu memang salah satu cara bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kelas atas atau yang kalau pada jaman Feodalisme disebut aristokrat.

Kini Jakarta adalah salah satu kota dengan biaya yang mahal di Asia. Di Asia Tenggara posisi kita hanya bisa disaingi oleh Singapura. Kesimpulan ini dibuat dari sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga dari inggris kepada para ekspatriat atau tenaga kerja asing yang gajinya DOLLAR. Menurut mereka, Jakarta adalah kota yang sangat mahal dilihat dari indikator biaya hidup yakni makanan, kebutuhan dasar, kegiatan untuk makanan di luar rumah, dan terakhir hiburan. Yah, Jakarta memang kota dengan sejuta hiburan. Ibukota kita tercinta ini jauh lebih hidup di malam harinya dibandingkan tetangga kita, Singapura. Makanya menurut studi yang lebih lanjut lagi, mengapa para ekspatriat alias bule itu bisa menempatkan Jakarta seimbang dengan Singapura yang notabene harga makanannya jauh lebih mahal? Itu adalah karena porsi hiburan di Jakarta jauh lebih besar dibanding Singapura yang membuat mereka mau merogoh kocek lebih dalam lagi di sini. Karena itulah aku benar-benar tidak mengerti pemikiran orang-orang Jakarta yang lebih memilih untuk berlibur di Singapura, padahal di Jakarta jauh lebih banyak hiburan dan setidaknya harga makanan masih lebih murah.

Yah, kurasa pada akhirnya kita masih bisa berbangga karena ibukota kita tercinta masih memiliki prestasi yang hebat di kancah internasional. Dan perlu diketahui bahwa dengan semakin mahalnya biaya hidup di Jakarta akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional kita. Dalam arti semakin banyak biaya yang dikeluarkan para ekspatriat, maka akan semakin tinggi kontribusi untuk peningkatan ekonomi nasional. Dan industri yang bergerak di sektor jasa seperti klub dan hotel akan semakin jaya saja.

Tapi dengan semakin mahalnya biaya hidup di kota Jakarta, tentu saja harus menjadi bahan pertimbangan bagi para imigran dari luar Jakarta. Sebelum memutuskan untuk hidup, bekerja, atau bersekolah di Jakarta, tentu harus memikirkan dulu masak-masak berapa uang yang harus disiapkan untuk memenuhi biaya hidup di kota yang tak memiliki belas kasihan ini. Dan melalui tulisan ini aku berharap agar kepadatan di kota Jakarta nantinya akan berkurang. Dan kalaupun tidak berkurang, aku berharap bahwa Jakarta ini akan dipadati oleh para pekerja keras dan cendekiawan dari berbagai penjuru dunia yang akan mengubah Jakartaku tercinta ini menjadi lebih baik lagi. Bukannya malah dipadati oleh pengemis.

Jakarta, 18 September 2011
-gema-

Komentar

Postingan Populer