Optimisme Denny Indrayana dalam Buku Terbarunya

Suatu hari Denny Indrayana, seorang aktivis yang sering mengkritik kebijakan pemerintah, mendapatkan telepon dari menteri sekretaris negara. Begitu kagetnya dia begitu mengetahui pesan yang disampaikan oleh presiden melalui mensesneg tersebut. Presiden menginginkan Denny untuk menjadi staf khususnya di bidang hukum.

Tentu saja Denny tidak langsung menerima tawaran tersebut. Alasannya adalah karena dia sadar bahwa masyarakat sudah sangat mengenalnya melalui kritik pedas yang selalu disampaikannya pada pemerintah, terutama kebijakan pemerintah yang menurutnya ’memberi sarana’ pada koruptor untuk melakukan aksinya. Jika dia menerima tawaran tersebut, maka akan menimbulkan kesan di masyarakat bahwa Denny telah dibungkam oleh presiden dengan iming-iming jabatan. Namun Denny juga menyadari bahwa pandangan kritis dari luar pemerintahan yang biasa dilakukannya saja tidaklah cukup untuk mengubah keadaan bangsa ini. Melakukan perubahan dari dalam sangatlah perlu dan tawaran ini

adalah kesempatan besar baginya. Untuk menentukan keputusannya, maka ia berkonsultasi pada orang-orang terdekatnya kemudian pada guru besarnya di UGM. Hasilnya adalah semua mendukung Denny untuk masuk ke dalam lingkaran orang-orang terdekat presiden tersebut.

Akhirnya setelah memikirkannya masak-masak, Denny memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Dengan menyadari segala risikonya mulai dari tinggal jauh dari keluarga (Denny tinggal di Yogyakarta), kemudian cercaan dari publik, sampai cobaan terhadap integritasnya dalam membasmi korupsi. Semua dia lakukan karena rasa keinginannya yang besar untuk mengubah sistem hukum Indonesia dari dalam.

Kemudian Setelah diangkat sebagai staf presiden, cobaan pertama Denny langsung muncul. Seperti yang telah dia duga sebelumnya, masyarakat mulai mencerca Denny. Mereka menyatakan bahwa Denny telah berubah, Denny yang dulu garang dalam menghadapi pemerintah kini melempem karena iming-iming jabatan. Pernyataan-pernyataan ini tentu sangat memojokkan Denny terutama dalam segi mental. Namun hal itu sama sekali tidak membuat Denny mundur. Untuk menanggapi semua pernyataan itu, Denny membuat pernyataan bahwa dia tidak pernah mengubah substansi perjuangannya, yaitu membasmi korupsi. Yang berubah darinya hanyalah lokasi perjuangannya dari sebelumnya di luar istana menjadi di dalam istana.

Dan semua pernyataan itu berhasil dibuktikan melalui capaian-capaian yang dibuatnya. Mulai dari menjadi anggota tim delapan dalam penyelesaian kasus Anggoro sampai menjadi sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Semua pengalaman-pengalaman selama menjadi staf khusus presiden itu dia bagikan dalam buku setebal 387 halaman yang berjudul Cerita Di Balik Berita: Jihad Melawan Mafia ini.

Buku ini berisikan pemikiran-pemikirannya mengenai segala kasus korupsi yang pernah dia tangani di Indonesia. Menurutnya, melakukan pengungkapan kasus korupsi di era reformasi ini sangatlah mudah. Semua berkat munculnya lembaga-lembaga yang mampu mengawasi setiap sen kekayaan pejabat seperti KPK, ICW, dan PPATK. Selain itu, mengungkapkan kasus korupsi juga bisa dilakukan dengan menganalisis gaya hidup. Seorang yang gajinya hanya jutaan tentu tidak mungkin bisa memiliki aset yang nilainya ratusan juta bahkan miliaran. Melalui analisis gaya hidup ini, pintu gerbang menuju investigasi kasus korupsi pun bisa terbuka.

Namun kesulitan selalu terjadi dalam melakukan pembuktian kasus korupsi. Hal ini tentu karena pelakunya adalah orang cerdas yang mampu melihat kelemahan hukum dan memanfaatkannya. Hal ini menjadi semakin sulit karena penegak hukum pun tidak bersih dari praktek korupsi. Karena itu dalam bukunya, Denny menegaskan bahwa untuk melakukan pembasmian hukum di Indonesia harus dimulai dari penegak hukum yaitu polisi dan kejaksaan. Jika penegak hukum sudah bersih dari praktek korupsi, tentu melakukan pemberantasan korupsi di bidang lainnya akan lebih mudah.

Di akhir bukunya, Denny menegaskan bahwa Indonesia bukan lagi surga bagi koruptor. Biarpun banyak kasus korupsi yang beredar di media, namun itu tidak membuktikan bahwa koruptor bisa bebas bertindak sesuka hati di Indonesia. Hal itu justru membuktikan bahwa gerak koruptor semakin terbatas berkat kebebasan pers yang semakin digencarkan di era reformasi ini. Buktinya bisa dilihat, para koruptor seperti Nazaruddin yang merasa dirinya terancam memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri karena menurutnya Indonesia bukanlah tempat yang aman untuknya tinggal.

Dengan demikian, janganlah berpendapat bahwa pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk pemberantasan korupsi. Optimisme harus terus digalakkan demi terwujudnya keberhasilan memberantas korupsi. Segala nada pesimis harus dihilangkan apalagi ketidakpedulian. Sebagai warga Indonesia kita harus selalu melakukan yang terbaik bagi negeri ini tanpa kenal menyerah. Mengutip kata-kata Denny Indrayana, ”Haram manyarah waja sampai kaputing. Keep on Fighting for the better Indonesia.”

Komentar

Postingan Populer