Piano Boy

Aku tidak pernah meminta hidup yang seperti ini, tapi aku tahu aku dapat selalu menyesuaikan diri. Aku seorang anak yang dilahirkan di atas kapal. Dibesarkan tanpa mengenal orangtuaku yang meninggalkanku di geladak kapal pada suatu malam. Beruntung (?) salah satu kru kapal menemukanku, sebelum aku mati kedinginan. Kini aku memanggilnya ayah, walaupun kru kapal lain selalu bertanya kepadanya, "Mitch, memang sejak kapan kau menikah?"

Aku tahu pertanyaan itu selalu mengingatkanku bahwa aku adalah seorang anak yang lahir tanpa mendapatkan pelukan hangat dari seseorang yang dapat kupanggil ibu. Dahulu aku sering bersedih hati memikirkannya, tapi sekarang tidak. Tahu kenapa? Karena aku punya seorang teman yang selalu setia menemaniku di saat seperti apapun. Tapi jangan bayangkan bahwa temanku itu adalah seorang bocah seumuranku yang selalu memakai rompi hitam dan topi pelaut kemanapun aku pergi, bukan.

Temanku adalah sebuah meja kayu yang memiliki 88 senar yang semuanya saling terhubung ke tuts-tuts indah yang selalu menyenangkan untuk dipijiti. Ya, temanku adalah sebuah grand piano yang selalu berdiri dengan setia di ruang utama kapal, tempat dimana setiap malamnya diadakan pesta dan musik yang tak pernah berhenti. Aku tak bisa mengatakan aku menyukai suasana seperti itu, tapi aku bisa mengatakan bahwa aku selalu menyukai bermain piano di saat seperti apapun, kapanpun, dan dimanapun (walaupun dalam kasus ini aku hanya bisa memainkannya di ruang utama kapal).

Supaya kalian tidak penasaran bagaimana aku bisa berakhir berteman dengan meja kayu yang memiliki bunyi indah itu, biar aku ceritakan kisah malam itu. Saat itu aku berumur 7 tahun. Ayahku sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, memastikan kapal tetap berjalan lancar, dengan cara memasok batubara ke mesin kapal. Aku sungguh bosan di hari itu, karena tidak ada yang dapat menemaniku bermain selagi ayahku bekerja, sementara aku sudah sangat bosan dengan mainan kapal-kapalan yang diberikan ayah seminggu lalu, yang ia dapat dari menawar pedagang China habis-habisan. Aku agak kasihan dengan pedagang itu sesungguhnya, tapi hanya dalam hati.

Jadi karena bosan, aku pun memutuskan untuk kabur dari kamarku dan berjalan-jalan mengelilingi kapal. Dan seperti yang dapat kalian tebak, aku terhenti di ruang utama, tepat di depan meja kayu yang aku pun belum tahu apa namanya. Apa yang terjadi setelah itu adalah aku duduk di kursi yang ada dan mulai memainkan piano itu. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi, selain bunyi indah yang kuhasilkan dari meja itu. Bunyi itu sungguh indah sampai aku terhanyut ke dalamnya tanpa dapat kembali.

Tapi pada akhirnya aku pun kelelahan, sehingga kuputuskan untuk mengakhiri permainanku. Barulah ketika itu aku sadar bahwa puluhan orang telah berkerumun di sekitarku, memandangku tak percaya. Aku melihat kapten kapal yang masih mengenakan piyamanya menjatuhkan cangkir kopinya ke lantai saking kagetnya ia. Aku tak mengerti kenapa.

Setelah malam itu, aku selalu diminta untuk bermain piano di setiap pesta. Aku selalu menikmat setiap saatnya. Entah kenapa, aku selalu diberikan kesempatan untuk bermain solo. Pada saat aku melakukannya, para pemain alat musik yang lain akan menghentikan permainannya dan membiarkan hanya suara piano yang kumainkan menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruang utama yang luas itu.

Aku berharap aku bisa tetap bersama pianoku selamanya.

Diadaptasi dari film "The Legend of 1900" yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore

Komentar

Postingan Populer