Cerita tentang Perjalanan : Prolog


Kulihat debur air laut di balik jendela. Matahari hangat bersinar melaluinya. Terasakan angin sepoi-sepoi memanjaku mencoba menarikku keluar untuk bermain di sana, di tengah laut bersama para ikan. Namun aku bukan berada di atas kapal. Aku sedang berada di atas kereta api Fajar Utama yang membawaku dari Jakarta ke Semarang, berdesak-desakkan dengan penumpangnya yang kebanyakan tidur di lantai. Beruntung aku bisa mendapatkan kursi walau harus kuakui itu bukanlah kursi yang nyaman.


Kuingat-ingat lagi alasan keberangkatanku. Kira-kira setahun yang lalu ketika aku masih bersekolah di Semarang, di sebuah ruang kecil tua di belakang sekolah yang kami sebut basecamp. Aku tidak ingat siapa yang memulainya namun yang jelas saat itu kami sedang membicarakan rencana liburan yang juga sekaligus menjadi pesta perpisahan untuk kami. Dan saat itu entah kenapa nama Karimun Jawa yang tercetus.



Kami adalah organisasi pecinta alam. Tiga tahun sudah kami lewati bersama dalam suka dan duka. Kedekatan itulah yang membuat kami telah dapat mengenal satu sama lain dengan baik seperti layaknya saudara kandung. Karena alasan itulah, kami merasa bahwa kami pantas untuk mengadakan sebuah acara yang berkesan sebelum akhirnya kami akan berpisah sekolah dan menjalani hidupnya masing-masing. Dan karena kami adalah pecinta alam, maka mendaki gununglah yang pertama kali tercetus. Namun kami menginginkan sesuatu yang berbeda karena ini harus menjadi sesuatu yang berkesan. Saat itulah salah seorang entah siapa berkata, ”Bagaimana kalau kita libur ke pantai ?”


Itu adalah sesuatu yang tak pernah terpikirkan. Sebagai pecinta alam kami terbiasa menghabiskan waktu di tengah hutan belantara atau di punggungan gunung. Merasakan sejuknya udara gunung dan keindahan bebatuan atau pepohonannya. Pantai adalah sesuatu yang sangat asing bagi kami apalagi di pulau Jawa, terutama Semarang, tidak memiliki pantai yang indah dan menarik. Mungkin karena itulah temanku mengusulkan ide untuk pergi ke Karimun Jawa.


Tentu saja itu ide yang sangat menarik dan pasti menyenangkan sekali kalau kami bisa bermain-main di atas pasir pantai Karimun yang terkenal sangat putih dan bersih itu. Juga melihat pemandangan laut biru luas yang masih bersih dan jernih sambil menikmati angin laut yang sepoi-sepoi ditemani dengan Es Degan yang segar. Kuyakin itulah yang ada dalam benak setiap orang yang ingin berlibur ke pantai. Namun satu hal yang menjadi masalah adalah Karimun masih sangatlah asing bagi kami.


Pada akhirnya kami menyetujui rencana itu dan mulai mencari-cari semua info tentang Karimun disela-sela kesibukan kami melakukan persiapan untuk Ujian Nasional. Idealnya adalah kami berangkat di saat libur sekolah atau setelah UN berlangsung. Namun sayangnya, setelah UN kami masih sibuk untuk mempersiapkan diri menghadapi seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Diputuskan waktu berangkat yang paling tepat adalah setelah pengumuman seleksi masuk atau sekitar pertengahan bulan Juli. Sayang dalam pengumuman itu, aku dinyatakan tidak lolos.


Aku memutuskan untuk mengikuti ujian masuk sebuah universitas swasta di Jakarta. Kemudian aku bertanya pada mereka dapatkah mereka mengundurkan waktu keberangkatan sampai pengumumanku. Mereka menerimanya tapi dengan syarat aku harus berhasil atau mereka akan membunuhku. Yang terakhir ini tentu saja hanya bercanda. Namun yang jelas aku sudah mendapatkan kepercayaan dari mereka dan mereka telah benar-benar mengharapkanku. Karena itulah aku tak boleh menyia-nyiakannya.


Dan saat aku dinyatakan diterima oleh universitas swasta tersebut, aku merasa sungguh senang dan aku segera mengabarkan mereka, ”Aku akan berangkat ke Karimun saudaraku!”


Maka disinilah aku. Duduk di atas kursi di sebuah kereta yang melintasi pantai utara jawa. Kursi yang tidak nyaman pun tak jadi soal lagi karena kawan-kawanku sudah rela untuk mengundur perjalanan ini dan menungguku dengan sabar.


Tiba-tiba ketika aku sedang menikmati pemandangan di luar jendela, ponselku berbunyi, ”Udah sampai mana?”


Kulihat nama pengirimnya yang ternyata adalah Pram. Hm, orang ini perhatian juga, pikirku. Segera kujawab, ”Kira-kira tiga jam lagi aku sampai Stasiun Tawang.”


”Nanti mau kujemput tidak?”


”Serius tuh ? Ya boleh aja sih.”


Aku sungguh berterimakasih pada Pram. Sebab dengan begini, aku dapat menghemat uangku yang harusnya kugunakan untuk naik angkot ke rumah Aji, yang menjadi tempat singgah kami sebelum berangkat. Pram sungguh baik, pikirku.


Tiga jam kemudian aku sudah berada di Stasiun Tawang. Tujuh jam berada dalam kereta yang sesak membuatku agak pegal dan juga bau. Kuputuskan untuk pergi ke restroom untuk mencuci muka sebentar kemudian dilanjutkan shalat. Setelah itu aku pergi ke pintu depan stasiun dan menunggu di sana. Tak berapa lama kemudian Pram datang dengan sepeda motornya yang berwarna merah dan kami langsung berangkat ke rumah Aji.


Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh sang jenderal yang segera mempersilakan kami masuk. Aku yang semakin tidak tahan dengan bau badanku langsung meminta izin untuk mandi. Lima belas menit aku mandi dan kini badanku sudah segar kembali. Aku berterimakasih pada Aji.


Kemudian aku memutuskan untuk keluar sebentar. Ada seseorang yang ingin kukunjungi, kataku pada mereka. Aku meminta izin pada Pram untuk meminjam sepeda motornya sebentar dengan syarat aku harus membeli makanan untuk mereka.


”Tidak masalah.” Kataku.


***



Pukul 17:30 aku sudah kembali lagi ke rumah Aji. Aku membawa keripik kentang dan kacang atom untuk mereka. Begitu aku masuk ke dalam aku melihat bahwa temanku yang lain juga sudah datang. Mereka adalah Ratna dan Amal yang langsung tersenyum dan tertawa ketika melihatku datang sambil mengatakan, ”Hey guys!” Dengan nada anak alay dari ibukota.


Namun entah kenapa aku tidak bisa melihat Rianti dan kurasa mereka juga sadar karena mereka segera memberitahu bahwa Rianti tidak bisa ikut menginap di rumah Aji.


”Rianti akan menyusul besok pagi dengan abangnya ke terminal.” Kata Ratna.


Tak lama kemudian kami diajak oleh Aji untuk makan malam. Makanan yang sederhana namun terasa menyenangkan karena dimakan bersama-sama. Setelah makan kami segera berbincang-bincang. Membicarakan tentang perguruan tinggi yang kami pilih, kemudian tentang salah seorang sahabat kami bernama Oliv yang tidak bisa mengikuti perjalanan ini.


”Ada masalah dengan orangtuanya.” Kata Ratna.


Yah, kurasa jika itu sudah menyangkut masalah keluarganya, maka tentu saja dia akan lebih memberatkannya dibandingkan liburan dengan kami. Kupikir itu memang keputusan yang paling bijak jadi aku tidak bertanya lagi lebih lanjut.


***



Malam semakin larut dan kupikir kami harus segera beristirahat karena besok kami harus berangkat ke terminal pukul 04:00 pagi. Namun entah kenapa, Aji malah mengajak kami bermain Poker untuk menghabiskan waktu. Permainan yang mudah dan aku menguasainya dengan baik terutama karena di sana ada Ratna yang masih pemula. Mudah sekali memancingnya mengeluarkan kartu terbaiknya dan menghabisinya ketika kartunya tinggal angka-angka kecil. Aku tidak ingat berapa kali dia kalah dalam permainan itu tapi yang jelas dia sangat kesal malam itu. Dan kami hanya tertawa melihatnya.


Diluar dugaan Amal dan Pram ternyata sangat mahir dalam permainan ini dan mereka terus-terusan memperebutkan posisi pertama. Aku dan Aji hanya bisa mengikuti permainan mereka dengan manggut-manggut sementara Ratna mengesot-ngesot karena dia terus-menerus terpancing untuk mengeluarkan kartu-kartu terbaiknya tanpa memikirkan kartu yang dimiliki lawannya. Aku dan Aji memutuskan bahwa biarpun kami tak bisa mengalahkan Amal dan Pram, paling tidak kami bisa mengalahkan Ratna dan itulah yang terus terjadi.


Kurasa akhirnya Ratna sudah sangat kesal, jadi kami memutuskan untuk mengakhiri permainan yang tidak seimbang ini. Kemudian kami memulai membahas tentang rencana hari esok. Rencananya tentu saja kami akan berangkat ke Terminal Terboyo diantar oleh orangtuanya Aji pada pukul 04:00. dan berangkat dengan bus yang menuju Jepara pukul 05:00. Namun yang jadi masalah adalah Rianti yang besok akan menyusul. Karena jika dia terlambat, maka bus berikutnya baru akan datang satu jam lagi. Sementara kapal yang berangkat ke Karimun berlayar pukul 08:00. Jadi kalau Rianti terlambat untuk datang ke terminal, maka kemungkinannya kecil dia bisa naik ke kapal dan berangkat ke Karimun. Karena itulah kami meneleponnya untuk memastikan bahwa dia tidak akan datang terlambat. Dan kalaupun iya, maka kami akan langsung berangkat dan membeli tiket dahulu, lalu menunggu Rianti di atas kapal.


Setelah masalah Rianti beres, kami mulai mengumpulkan uang kami pada Ratna. Dia yang akan mengelola pengeluaran kami agar tidak terjadi pemborosan. Setelah semuanya beres, kami memutuskan untuk tidur. Para perempuan tidur di dalam kamar dan para lelaki tidur di ruang tengah bersama para nyamuk.


Aku benar-benar kesulitan untuk tidur karena serangan nyamuk yang bertubi-tubi. Ditambah lagi Aji masih menonton TV. Karena tidak bisa tidur, kuputuskan untuk ikut menonton. Tidak ada acara yang menarik sampai kemudian sebuah stasiun TV menayangkan film berjudul ’Maling Kolor.’ Judul yang konyol dan membuat tertawa. Aku menonton sebentar sampai akhirnya merasa bosan. Kuputuskan untuk mencoba tidur. Kulihat Pram sudah tertidur pulas di sebelah kiriku sementara Aji masih asyik menonton. Namun aku tetap kesulitan untuk tidur karena nyamuk.


Tak lama kemudian Aji bangkit dan masuk ke kamarnya. Kini tinggal aku sendiri di ruang tengah. Berdua jika Pram masih bangun. Dan sialnya aku tetap tidak bisa untuk tidur. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 00:00 dan aku masih terjaga. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Kupejamkan mataku dan aku berdoa.


”Kuharap besok aku tidak terlambat bangun.”


***

Jakarta, 4 September 2011
-gema-




Komentar

Postingan Populer