Cerita tentang Perjalanan: Hari Pertama (2)
KM Muria
Suasana dalam kapal sudah sangat ramai ketika kami masuk dan semua kursi yang ada di atas kapal sudah dipenuhi penumpang. Kurasa kami cukup beruntung karena telah mendapat peringatan dari bapak tadi. Dengan keadaan begini seharusnya kapal memang akan segera berangkat. Karena tidak mendapatkan kursi untuk duduk, maka duduklah kami di lantai geladak, tepatnya persis di depan tangga tempat orang berlalu-lalang naik dan turun. Hal ini tentu membuat kami tidak pernah dapat duduk dengan nyaman karena harus selalu menggeser posisi kami jika ada orang yang lewat. Melihat hal itu, mas Ryan memilih untuk duduk di tempat lain.
Selagi menunggu keberangkatan, kami melanjutkan obrolan kami di warung tadi. Aku tidak begitu ingat apa yang dibicarakan, namun yang jelas, kami semua merasa bahwa semuanya akan terasa sangat menyenangkan dan mudah. Pada akhirnya aku tahu bahwa kami telah meremehkan keganasan Laut Jawa.
Pukul 09:00 tepat, KM Muria berangkat. Aku merasa dibohongi. Perjalanan dari Pantai Kartini ke Karimun diperkirakan memakan waktu selama enam jam. Waktu yang tidak sebentar memang dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh kami selain berbicara. Kami terus berbicara, bercanda, terkadang melihat ke laut yang luas dan tanpa batas. Merasakan kerasnya angin yang menerpa dan panasnya sinar mentari. Karena tidak tahan dengan panasnya, kami menutup jendela kapal dengan terpal. Obrolan pun dilanjutkan sampai tidak ada lagi topik menarik yang bisa dibicarakan. Akhirnya kami semua memutuskan untuk diam dan hanya memandang apa yang ada di depan kami. Di sinilah bencana dimulai.
Pada awalnya aku merasakan kepalaku berputar dan mataku berkunang-kunang. Kupikir hanya perasaanku saja, namun seiring waktu perasaan itu makin terasa. Aku putuskan untuk berbaring jadi kuminta Pram untuk menggeser posisi duduknya. Begitu berbaring, kepalaku malah semakin pusing karena goncangan kapal makin terasa. Kurasa aku mabuk laut namun aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang mabuk.
Aku terus berpikir, apa yang telah menyebabkanku mabuk dan bagaimana mengatasinya. Sayangnya semakin aku berpikir, semakin yakinlah aku bahwa aku sedang mabuk. Kucoba untuk berhenti berpikir dan memejamkan mata. Entah kenapa aku mulai merasakan miringnya kapal ini dan begitu kubuka mataku, pusing yang menyiksa itu kembali datang. Aku tidak tahan lagi, kuputuskan untuk membeli makanan di kantin dengan harapan perut yang terisi dapat menambah kekuatan untuk menghadapi mabuk laut ini. Saat itu aku telah yakin bahwa aku sedang mabuk.
Aku berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke arah kantin. Aku baru sadar bahwa ternyata goncangan kapal akan semakin terasa ketika berdiri, tapi aku menahannya dan mencoba tetap berjalan (seperti zombie). Dari tempatku berdiri, kantin seharusnya hanya berjarak kurang dari 10 m, tapi bagiku rasanya seperti 1 km. Jadi begitu sampai di sana aku langsung berpegangan pada apapun yang bisa kupegang untuk mengembalikan keseimbanganku. Tadinya aku berharap bahwa ada nasi bungkus di sana, namun aku tahu bahwa aku terlalu berharap pada kapal penyeberangan murah meriah ini. Tak ada pilihan lain, terpaksa kubeli sebuah Pop Mie dan kembali ke tempatku duduk.
Begitu kembali kulihat Aji dan Pram sudah tidak ada sementara para perempuan sudah terlelap. Sebelumnya kami, para lelaki, sempat membicarakan untuk duduk di geladak atas yang kami rasa lebih sepi dan nyaman jadi kurasa mereka sudah berada di sana. Aku duduk dan makan dengan lahap. Begitu selesai aku langsung memejamkan mata mencoba untuk tidur. Percobaan yang gagal tentunya.
Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, jadi aku memutuskan untuk menyusul Aji dan Pram ke geladak atas. Perjalanan yang tidak kurang dari derita. Saat itu perutku mulai bergejolak. Ternyata makan saat sedang mabuk memang sebuah kesalahan. Rasanya aku ingin muntah tapi kucoba untuk menahannya.
Begitu sampai di atas aku merasakan dua hal. Yaitu angin laut yang sangat kencang yang rasanya seperti menamparku dan sinar matahari yang sangat terik dan panas. Kulihat jamku sudah menunjukkan pukul 12:00. Matahari tepat berada di atas kepalaku dan aku malah pergi ke atap. Rasanya itu sebuah keputusan yang bodoh sekali. Masih ada tiga jam lagi sampai kami tiba di Pulau Karimun, itu pun kalau tidak ngaret.
Geladak atas ini memiliki tempat lapang yang di lantainya terdapat lingkaran besar yang berbentuk seperti helipad. Walaupun aku tidak yakin jika helikopter bisa mendarat di atas sini. Di pinggirnya terdapat meja dan kursi yang kurasa digunakan untuk rapat para awak. Di tengahnya adalah kamar awak dan juga ruang kemudi kapal. Di samping kiri dan kanan ruang awak itu terdapat lorong yang cukup teduh dan digunakan para penumpang untuk tidur. Kulihat Aji dan Pram ada di sana.
Aku menghampiri mereka dan kuyakin mereka juga sadar karena mereka langsung bangun dan menggeser posisi tidur mereka.
”Wah, kupikir kowe petugas yang mau ngusir kita.” Sahut Aji.
Aku hanya tersenyum karena aku hampir tidak punya tenaga untuk menjawab jadi aku langsung berbaring dan mencoba untuk tidur lagi. Kali ini yang kurasakan bukan hanya pusing, tapi juga panas yang sangat terasa dalam tubuh. Kucoba untuk mengabaikannya dan berusaha untuk tidur. Hanya berselang beberapa menit aku terbangun karena merasa sangat gerah. Aku membuka bajuku dan langsung kaget ketika melihatnya. Bajuku basah kuyup oleh keringat.
Saat itulah Aji ikut terbangun dan langsung menyahut, ”Ngapain kowe buka baju? Hah, keringatmu akeh banget!”
”Iya, keringat dingin ini.” Jawabku lesu
Aku tidak pernah membayangkan kalau perjalanan ini akan sangat menyiksa. Kepalaku masih terasa nyut-nyutan dan lautan masih terus menggoncang kapal kecil ini dan aku masih harus merasakan ini untuk tiga jam ke depan. Aku mencoba berpikir positif bahwa ini adalah pengorbanan yang sesuai untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga nantinya.
”Pram, kamu punya antimo, nggak?” Aku tahu sudah terlalu terlambat untuk meminum obat anti mabuk tapi aku tetap memintanya.
”Nih, tapi aku nggak ada air.” Sambil menyerahkan sebutir antimo padaku.
”Nggak masalah.” Aku meminumnya langsung tanpa air.
Segera setelah itu Aji berkata, ”Gimana kalau kita pindah ke sebelah aja ? Di sini udah mulai panas.”
Kurasakan memang di sini sudah semakin panas karena matahari tidak lagi berada di atas kami, namun tepat di depan kami. Dengan terpaksa, kami memutuskan untuk pindah ke lorong di sebelah yang seharusnya tidak terkena sinar matahari karena terhalang oleh kamar awak kapal, diikuti penumpang lain yang juga tidur di tempat yang sama dengan kami. Sampai di sana, kami langsung mencari tempat yang bisa digunakan untuk berbaring dan langsung menjatuhkan diri. Kututup mataku dengan syal dan tidur tertelungkup menghadap lantai sambil menyilangkan kedua tanganku. Posisi yang aneh, tapi entah kenapa itu adalah posisi ternyaman yang bisa kutemukan di sana. Berkat itulah aku bisa bermimpi untuk beberapa saat.
Aku tidak ingat pada mimpiku di hari itu, namun aku ingat membuka mataku, melihat ke langit, lalu merasakan hal yang tidak beres pada tubuhku. Aku segera bangkit dan berpegangan pada pegangan di samping kapal. Aji yang masih terjaga langsung bertanya padaku.
”Kenapa kowe?”
”Aku mau muntah.”
Kurasa aku melakukan kesalahan dengan menyebutkan passwordnya. Tentu saja aku tahu dengan pasti bahwa begitu kamu berpikir akan muntah, maka muntahlah kamu dan aku telah melakukannya. Sekejap setelah aku mengucapkan kata itu, tubuhku langsung bergejolak hebat dan rasanya seperti ada sesuatu yang naik ke tenggorokanku. Sesuatu yang rasanya sangat pahit.
Dalam waktu yang sekejap, aku berusaha mencari tempat dimana aku bisa memuntahkan isi perutku. Saat itu yang terpikir olehku hanyalah kamar mandi dan laut. Namun tidak ada kamar mandi di sana, sementara saat itu aku sedang berada di lantai paling atas dari kapal itu. Jadi jika aku muntah ke laut, maka kemungkinan besar, muntahanku akan masuk ke lantai di bawahnya melalui jendela dan mengenai penumpang lain. Kedua solusi itu langsung ditolak oleh otakku, jadi aku segera mencari solusi lain secepat mungkin. Di saat yang sekejap itulah aku melihat sebuah keajaiban yang memecahkan segala kebuntuanku. Sebuah tempat sampah besar berada tepat di depan mataku.
Dengan setengah berlari aku menuju ke sana lalu berpegangan pada tempat sampah dan menundukkan kepalaku sampai hampir masuk ke dalamnya. Aku bisa mencium bau tidak sedap darinya saat itu.
Suasana dalam kapal sudah sangat ramai ketika kami masuk dan semua kursi yang ada di atas kapal sudah dipenuhi penumpang. Kurasa kami cukup beruntung karena telah mendapat peringatan dari bapak tadi. Dengan keadaan begini seharusnya kapal memang akan segera berangkat. Karena tidak mendapatkan kursi untuk duduk, maka duduklah kami di lantai geladak, tepatnya persis di depan tangga tempat orang berlalu-lalang naik dan turun. Hal ini tentu membuat kami tidak pernah dapat duduk dengan nyaman karena harus selalu menggeser posisi kami jika ada orang yang lewat. Melihat hal itu, mas Ryan memilih untuk duduk di tempat lain.
Selagi menunggu keberangkatan, kami melanjutkan obrolan kami di warung tadi. Aku tidak begitu ingat apa yang dibicarakan, namun yang jelas, kami semua merasa bahwa semuanya akan terasa sangat menyenangkan dan mudah. Pada akhirnya aku tahu bahwa kami telah meremehkan keganasan Laut Jawa.
Pukul 09:00 tepat, KM Muria berangkat. Aku merasa dibohongi. Perjalanan dari Pantai Kartini ke Karimun diperkirakan memakan waktu selama enam jam. Waktu yang tidak sebentar memang dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh kami selain berbicara. Kami terus berbicara, bercanda, terkadang melihat ke laut yang luas dan tanpa batas. Merasakan kerasnya angin yang menerpa dan panasnya sinar mentari. Karena tidak tahan dengan panasnya, kami menutup jendela kapal dengan terpal. Obrolan pun dilanjutkan sampai tidak ada lagi topik menarik yang bisa dibicarakan. Akhirnya kami semua memutuskan untuk diam dan hanya memandang apa yang ada di depan kami. Di sinilah bencana dimulai.
Pada awalnya aku merasakan kepalaku berputar dan mataku berkunang-kunang. Kupikir hanya perasaanku saja, namun seiring waktu perasaan itu makin terasa. Aku putuskan untuk berbaring jadi kuminta Pram untuk menggeser posisi duduknya. Begitu berbaring, kepalaku malah semakin pusing karena goncangan kapal makin terasa. Kurasa aku mabuk laut namun aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang mabuk.
Aku terus berpikir, apa yang telah menyebabkanku mabuk dan bagaimana mengatasinya. Sayangnya semakin aku berpikir, semakin yakinlah aku bahwa aku sedang mabuk. Kucoba untuk berhenti berpikir dan memejamkan mata. Entah kenapa aku mulai merasakan miringnya kapal ini dan begitu kubuka mataku, pusing yang menyiksa itu kembali datang. Aku tidak tahan lagi, kuputuskan untuk membeli makanan di kantin dengan harapan perut yang terisi dapat menambah kekuatan untuk menghadapi mabuk laut ini. Saat itu aku telah yakin bahwa aku sedang mabuk.
Aku berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke arah kantin. Aku baru sadar bahwa ternyata goncangan kapal akan semakin terasa ketika berdiri, tapi aku menahannya dan mencoba tetap berjalan (seperti zombie). Dari tempatku berdiri, kantin seharusnya hanya berjarak kurang dari 10 m, tapi bagiku rasanya seperti 1 km. Jadi begitu sampai di sana aku langsung berpegangan pada apapun yang bisa kupegang untuk mengembalikan keseimbanganku. Tadinya aku berharap bahwa ada nasi bungkus di sana, namun aku tahu bahwa aku terlalu berharap pada kapal penyeberangan murah meriah ini. Tak ada pilihan lain, terpaksa kubeli sebuah Pop Mie dan kembali ke tempatku duduk.
Begitu kembali kulihat Aji dan Pram sudah tidak ada sementara para perempuan sudah terlelap. Sebelumnya kami, para lelaki, sempat membicarakan untuk duduk di geladak atas yang kami rasa lebih sepi dan nyaman jadi kurasa mereka sudah berada di sana. Aku duduk dan makan dengan lahap. Begitu selesai aku langsung memejamkan mata mencoba untuk tidur. Percobaan yang gagal tentunya.
Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana, jadi aku memutuskan untuk menyusul Aji dan Pram ke geladak atas. Perjalanan yang tidak kurang dari derita. Saat itu perutku mulai bergejolak. Ternyata makan saat sedang mabuk memang sebuah kesalahan. Rasanya aku ingin muntah tapi kucoba untuk menahannya.
Begitu sampai di atas aku merasakan dua hal. Yaitu angin laut yang sangat kencang yang rasanya seperti menamparku dan sinar matahari yang sangat terik dan panas. Kulihat jamku sudah menunjukkan pukul 12:00. Matahari tepat berada di atas kepalaku dan aku malah pergi ke atap. Rasanya itu sebuah keputusan yang bodoh sekali. Masih ada tiga jam lagi sampai kami tiba di Pulau Karimun, itu pun kalau tidak ngaret.
Geladak atas ini memiliki tempat lapang yang di lantainya terdapat lingkaran besar yang berbentuk seperti helipad. Walaupun aku tidak yakin jika helikopter bisa mendarat di atas sini. Di pinggirnya terdapat meja dan kursi yang kurasa digunakan untuk rapat para awak. Di tengahnya adalah kamar awak dan juga ruang kemudi kapal. Di samping kiri dan kanan ruang awak itu terdapat lorong yang cukup teduh dan digunakan para penumpang untuk tidur. Kulihat Aji dan Pram ada di sana.
Aku menghampiri mereka dan kuyakin mereka juga sadar karena mereka langsung bangun dan menggeser posisi tidur mereka.
”Wah, kupikir kowe petugas yang mau ngusir kita.” Sahut Aji.
Aku hanya tersenyum karena aku hampir tidak punya tenaga untuk menjawab jadi aku langsung berbaring dan mencoba untuk tidur lagi. Kali ini yang kurasakan bukan hanya pusing, tapi juga panas yang sangat terasa dalam tubuh. Kucoba untuk mengabaikannya dan berusaha untuk tidur. Hanya berselang beberapa menit aku terbangun karena merasa sangat gerah. Aku membuka bajuku dan langsung kaget ketika melihatnya. Bajuku basah kuyup oleh keringat.
Saat itulah Aji ikut terbangun dan langsung menyahut, ”Ngapain kowe buka baju? Hah, keringatmu akeh banget!”
”Iya, keringat dingin ini.” Jawabku lesu
Aku tidak pernah membayangkan kalau perjalanan ini akan sangat menyiksa. Kepalaku masih terasa nyut-nyutan dan lautan masih terus menggoncang kapal kecil ini dan aku masih harus merasakan ini untuk tiga jam ke depan. Aku mencoba berpikir positif bahwa ini adalah pengorbanan yang sesuai untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga nantinya.
”Pram, kamu punya antimo, nggak?” Aku tahu sudah terlalu terlambat untuk meminum obat anti mabuk tapi aku tetap memintanya.
”Nih, tapi aku nggak ada air.” Sambil menyerahkan sebutir antimo padaku.
”Nggak masalah.” Aku meminumnya langsung tanpa air.
Segera setelah itu Aji berkata, ”Gimana kalau kita pindah ke sebelah aja ? Di sini udah mulai panas.”
Kurasakan memang di sini sudah semakin panas karena matahari tidak lagi berada di atas kami, namun tepat di depan kami. Dengan terpaksa, kami memutuskan untuk pindah ke lorong di sebelah yang seharusnya tidak terkena sinar matahari karena terhalang oleh kamar awak kapal, diikuti penumpang lain yang juga tidur di tempat yang sama dengan kami. Sampai di sana, kami langsung mencari tempat yang bisa digunakan untuk berbaring dan langsung menjatuhkan diri. Kututup mataku dengan syal dan tidur tertelungkup menghadap lantai sambil menyilangkan kedua tanganku. Posisi yang aneh, tapi entah kenapa itu adalah posisi ternyaman yang bisa kutemukan di sana. Berkat itulah aku bisa bermimpi untuk beberapa saat.
Aku tidak ingat pada mimpiku di hari itu, namun aku ingat membuka mataku, melihat ke langit, lalu merasakan hal yang tidak beres pada tubuhku. Aku segera bangkit dan berpegangan pada pegangan di samping kapal. Aji yang masih terjaga langsung bertanya padaku.
”Kenapa kowe?”
”Aku mau muntah.”
Kurasa aku melakukan kesalahan dengan menyebutkan passwordnya. Tentu saja aku tahu dengan pasti bahwa begitu kamu berpikir akan muntah, maka muntahlah kamu dan aku telah melakukannya. Sekejap setelah aku mengucapkan kata itu, tubuhku langsung bergejolak hebat dan rasanya seperti ada sesuatu yang naik ke tenggorokanku. Sesuatu yang rasanya sangat pahit.
Dalam waktu yang sekejap, aku berusaha mencari tempat dimana aku bisa memuntahkan isi perutku. Saat itu yang terpikir olehku hanyalah kamar mandi dan laut. Namun tidak ada kamar mandi di sana, sementara saat itu aku sedang berada di lantai paling atas dari kapal itu. Jadi jika aku muntah ke laut, maka kemungkinan besar, muntahanku akan masuk ke lantai di bawahnya melalui jendela dan mengenai penumpang lain. Kedua solusi itu langsung ditolak oleh otakku, jadi aku segera mencari solusi lain secepat mungkin. Di saat yang sekejap itulah aku melihat sebuah keajaiban yang memecahkan segala kebuntuanku. Sebuah tempat sampah besar berada tepat di depan mataku.
Dengan setengah berlari aku menuju ke sana lalu berpegangan pada tempat sampah dan menundukkan kepalaku sampai hampir masuk ke dalamnya. Aku bisa mencium bau tidak sedap darinya saat itu.
Beberapa saat kemudian, penderitaanku pun berakhir. Semua yang bisa kumuntahkan telah kumuntahkan termasuk Pop Mie yang baru kumakan satu jam yang lalu itu. Aku merasa sangat lega dan untuk beberapa saat pusing di kepalaku pun hilang entah kemana. Melihat itu, Aji segera menghampiriku dan mengajakku untuk turun. saat itulah aku baru sadar bahwa Pram tidak bersamanya.
”Kemana Pram?”
”Dia ke bawah. Tadi dia juga minum Antimo tanpa pake air dan nyangkut di tenggorokannya. Katanya rasanya pahit banget dan dia pengen muntah. Jadi dia turun ke bawah buat nyari air minum.”
Hm, aku tidak menyangka kalau seorang Pram juga bisa mabuk laut. Kami menuruni tangga yang sama dengan tadi dan kembali ke tempat kami duduk pertama kali. Begitu kagetnya aku begitu melihat pemandangan di sana yang ternyata jauh lebih mengerikan. Pram sedang duduk dengan menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat sangat lemas. Hal yang sama juga terlihat pada Amal dan Rianti. Hanya Ratna yang masih terlihat normal. Menurut Ratna, kedua temanku, Rianti dan Amal, juga telah muntah beberapa kali terutama Amal. Dan karena Ratna hanya sendirian di geladak itu, mungkin jika kami tidak segera datang dia juga akan menyusul mereka.
Perjalanan masih tersisa dua jam menurut jadwal. Dan dalam dua jam itu, aku muntah sekali lagi dan Amal entah berapa kali. Pram terus menerus duduk di pojokkan tangga sambil terus tertunduk lemas. Rianti dan Ratna tertidur cukup lelap sementara Aji, aku tidak ingat apa yang dia lakukan saat itu. Bagaimana dengan mas Ryan? Tidak ada yang tahu apa kabarnya tapi aku hanya berharap bahwa dia baik-baik saja dan tidak mati lemas karena mabuk laut. Kalau ada satu pelajaran yang bisa kupetik dari perjalanan dengan KM Muria itu adalah, ’Sesuatu yang indah di awal, belum tentu akan indah sampai akhir.’
Namun begitu pulau Karimun mulai menyembul dari horizon dan laut di bawah kami menjadi berwarna biru yang sangat cerah, juga berkilauan terkena sengatan sang mentari, aku jadi bisa sedikit menarik kata-kataku tadi. Sebab ketika pulau itu mulai terlihat, entah kenapa semangatku mulai terisi kembali. Tanpa sadar aku sudah berdiri di jendela kapal, berpegangan hanya pada pagar pembatas dan menyembulkan kepalaku keluar. Merasakan angin sepoi-sepoi yang memanja, yang mencoba menarikku untuk bermain di sana bersamanya. Bersama kemegahan laut Karimun Jawa yang masih sangat alami dan juga indah. Aku sangat bahagia saat itu dan aku jadi menyadari satu hal penting yang seharusnya sudah aku, maksudku kami, ketahui dengan baik yaitu ’sesuatu yang indah itu akan selalu terasa indah, hanya jika kita mau untuk memperjuangkannya dan berusaha untuk tabah sampai akhir.’
”Kemana Pram?”
”Dia ke bawah. Tadi dia juga minum Antimo tanpa pake air dan nyangkut di tenggorokannya. Katanya rasanya pahit banget dan dia pengen muntah. Jadi dia turun ke bawah buat nyari air minum.”
Hm, aku tidak menyangka kalau seorang Pram juga bisa mabuk laut. Kami menuruni tangga yang sama dengan tadi dan kembali ke tempat kami duduk pertama kali. Begitu kagetnya aku begitu melihat pemandangan di sana yang ternyata jauh lebih mengerikan. Pram sedang duduk dengan menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat sangat lemas. Hal yang sama juga terlihat pada Amal dan Rianti. Hanya Ratna yang masih terlihat normal. Menurut Ratna, kedua temanku, Rianti dan Amal, juga telah muntah beberapa kali terutama Amal. Dan karena Ratna hanya sendirian di geladak itu, mungkin jika kami tidak segera datang dia juga akan menyusul mereka.
Perjalanan masih tersisa dua jam menurut jadwal. Dan dalam dua jam itu, aku muntah sekali lagi dan Amal entah berapa kali. Pram terus menerus duduk di pojokkan tangga sambil terus tertunduk lemas. Rianti dan Ratna tertidur cukup lelap sementara Aji, aku tidak ingat apa yang dia lakukan saat itu. Bagaimana dengan mas Ryan? Tidak ada yang tahu apa kabarnya tapi aku hanya berharap bahwa dia baik-baik saja dan tidak mati lemas karena mabuk laut. Kalau ada satu pelajaran yang bisa kupetik dari perjalanan dengan KM Muria itu adalah, ’Sesuatu yang indah di awal, belum tentu akan indah sampai akhir.’
Namun begitu pulau Karimun mulai menyembul dari horizon dan laut di bawah kami menjadi berwarna biru yang sangat cerah, juga berkilauan terkena sengatan sang mentari, aku jadi bisa sedikit menarik kata-kataku tadi. Sebab ketika pulau itu mulai terlihat, entah kenapa semangatku mulai terisi kembali. Tanpa sadar aku sudah berdiri di jendela kapal, berpegangan hanya pada pagar pembatas dan menyembulkan kepalaku keluar. Merasakan angin sepoi-sepoi yang memanja, yang mencoba menarikku untuk bermain di sana bersamanya. Bersama kemegahan laut Karimun Jawa yang masih sangat alami dan juga indah. Aku sangat bahagia saat itu dan aku jadi menyadari satu hal penting yang seharusnya sudah aku, maksudku kami, ketahui dengan baik yaitu ’sesuatu yang indah itu akan selalu terasa indah, hanya jika kita mau untuk memperjuangkannya dan berusaha untuk tabah sampai akhir.’
***
Komentar
Posting Komentar
jangan lupa kasih komentar ya?
makasih atas komentarnya,, pasti akan sangat bermanfaat :)