Cerita tentang Perjalanan: Hari Pertama (3)
Pulau Karimun
Kapal segera merapat beberapa menit kemudian. Barang-barang sudah kami kemasi dan segala jenis muntahan sudah kami buang. Kami sudah siap berangkat dan kini hanya perlu
menunggu sampai pintu kapal dibuka. Namun begitu pintu kapal dibuka, kami masih harus menunggu karena terlalu banyak penumpang yang menyerobot ingin keluar dahulu. Terpaksa kami mengalah dan menunggu hingga kapal cukup sepi. Setelah semua penumpang turun, barulah kami dapat turun. Begitu tiba di lantai bawah, kulihat mas Ryan juga telah menunggu di sana. Wajahnya terlihat sangat cerah dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia habis mengalami mabuk laut. Akhirnya dia bercerita bahwa sepanjang perjalanan, dia menghabiskannya dengan tidur.
Kami berjalan keluar dari KM Muria. Kami sempat mengambil beberapa gambar di pelabuhan ini dan setelah puas, kami langsung berangkat untuk mencari pusat informasi. Begitu sampai di sana, perhatian kami langsung teralihkan oleh peta raksasa kepulauan Karimun Jawa. Di sana terdapat penjelasan mengenai spot-spot menarik di kepulauan ini dan potensi-potensi alamnya. Yang paling menarik bagi kami tentu saja terumbu karang dan penetasan telur penyu. Ingin rasanya mengikuti acara penetasan telur tersebut jika ada kesempatan, maka kami mencoba menanyakan hal tersebut pada petugas di pusat informasi.
”Oh, maaf saya tidak begitu tahu kalau soal itu. Mengenai itu Anda bisa menanyakannya pada Balai Konservasi.”
”Hm, kalau begitu bisa Anda menunjukkan jalan menuju Guest House Karimun Indah?” Kata Ratna.
”Baiklah, bisa saya meminta kertas?”
Kami segera menyerahkannya dan begitu mengambilnya, dia langsung menggambar sekumpulan garis teratur. Ada yang melengkung, ada yang membentuk persimpangan dan diakhiri dengan membuat sebuah lingkaran di tengahnya. Kemudian dia menandai beberapa garis dengan bulatan hitam kecil.
”Jadi sekarang posisi kalian ada di sini.” Sambil menunjukkan sebuah bulatan hitam di kertas itu. ”Kemudian kalau mau pergi ke Karimun Indah, ikutilah garis ini sampai ke titik ini. Jaraknya sekitar 1.5 km, letaknya persis sebelum alun-alun.”
Barulah kami menyadari bahwa itu adalah sebuah peta. Dia bahkan menambahkan toko souvenir dan alun-alun di petanya. Cara yang unik untuk menunjukkan jalan tapi kurasa cukup efektif. Kemudian Ratna menambahkan, ”Bisakah Anda memberitahukan tempat Balai Konservasi berada?”
Dengan cepat, dia langsung mengambil kertas itu dan menandai salah satu garisnya dengan bulatan hitam. ”Balai Konservasi ada di sini. Namun Mess-nya terletak di sebelah sini. Kalau jam segini, kurasa mereka sedang berada di sana. Dari sini jaraknya kurang lebih 600 m”
Kami mengucapkan terima kasih padanya dan setelah mengisi buku tamu, kami langsung berangkat ke balai konservasi. Di perjalanan, kami sempat melewati gapura yang bertuliskan ’Selamat Datang di Karimun Jawa’ yang menandai bahwa kami telah memasuki daerah kepulauan Karimun Jawa. Hal pertama yang kulihat adalah truk pick-up yang mengangkut mebel kemudian rumah-rumah penduduk yang jaraknya cukup berdekatan. Lalu sebuah pom bensin yang terbengkalai dan gunung Karimun yang memandang kami dengan angkuh. Pemandangan ini jadi mengingatkanku pada sebuah desa di lereng gunung yang pernah kukunjungi. Hanya bedanya, udara di sini terasa panas dan menyengat.
Jalan ke Balai Konservasi adalah jalan menanjak yang cukup ekstrem. Mengingat kami ini sudah termasuk veteran dalam kegiatan mendaki, maka bukanlah hal yang aneh jika kami sudah kehabisan napas di tengah tanjakan. Pada akhirnya kami berhasil mencapai mess milik Balai Konservasi tersebut. Saat itu kami para lelaki lebih memilih untuk beristirahat di bawah pohon sementara para perempuan pergi ke dalam dan bertanya-tanya pada petugas.
Lama kami menunggu di bawah pohon itu. Pusing yang tadi kurasakan sudah hilang entah kemana dan aku sudah bisa tertawa-tawa bersama mereka sambil sesekali menyanyikan lagu-lagu melayu. Dan mas Ryan yang sedari tadi tidak pernah menunjukkan batang hidungnya tiba-tiba menyodorkan tangannya, menawarkan keripik kentang pada kami. Dengan senang hati kami menerimanya dan saat itu kurasa kami sudah cukup bisa menerima mas Ryan dalam kelompok kami
Tak lama kemudian para perempuan keluar dari mess itu dengan membawa kabar baik dan buruk. Kabar buruknya adalah kami tidak akan bisa ikut menyaksikan penetasan telur penyu karena musimnya yang sudah lewat. Sementara kabar baiknya adalah para petugas Balai Konservasi itu adalah orang-orang yang sangat bersahabat dan sedang berusaha untuk mempromosikan wisata darat di pulau Karimun yang kalah pamor dibandingkan wisata lautnya. Karena itulah, mereka bersedia mengantarkan kami berkeliling pulau Karimun dengan mobil patroli mereka. Sebuah tawaran yang tentu saja tidak bisa ditolak. Selain itu kami diminta untuk datang lagi nanti malam untuk sekadar minum kopi dan membicarakan mengenai hal itu lebih lanjut. Namun kini yang terpenting adalah segera menemukan guest house kami, meletakkan barang dan beristirahat.
Guest house kami terletak 1 km dari balai konservasi menurut peta yang kami dapat barusan. Di perjalanan kami kembali melewati pom bensin yang terbengkalai itu. Aku jadi penasaran darimana penduduk pulau ini mendapat bahan bakar. Belakangan aku menemukan bahwa bensin di sini dijual eceran dan harga 1 liter solar adalah Rp 5000. Harga yang tidak murah. Wajar saja aku hanya sedikit melihat kendaraan bermotor di sini. Biar bagaimana pun juga ini adalah desa yang kecil jadi para penduduk pasti lebih memilih untuk berjalan kaki atau mengayuh sepeda yang kulihat selalu ada di setiap rumah. Satu hal lagi yang selalu terlihat di setiap rumah adalah antena parabola yang besar. Kurasa hal itu diperlukan karena sulit untuk menangkap sinyal di pulau terpencil ini. Hal lain yang menarik dari pulau karimun adalah tidak ada listrik di pulau ini sampai pukul 18:00. Berkat itu, anak-anak selalu terlihat berada di luar rumah dan bermain dengan riang. Masyarakat selalu berada di luar rumah sehingga kampung yang kecil ini jadi berkesan ramai. Kupikir sistem menarik ini juga bisa diterapkan di ibukota. Tapi tentu saja jika itu diterapkan di ibukota, maka sebagian besar orang akan beralih profesi menjadi petani atau nelayan.
Kemudian kami menemukan sebuah cafe yang hanya dengan sekali melihat saja kami langsung tahu bahwa ini adalah cafe bagi mereka yang memiliki duit berlebih. Tempat itu berbentuk seperti rumah kayu di pinggir pantai. Dikelilingi tembok putih tinggi dan juga pemandangan yang langsung menghadap ke laut. Setelah kami berjalan lagi, kami juga menemukan sebuah kolam. Namun tidak ada ikan yang berenang di sana, melainkan sampah. Sampah dengan jumlah yang sangat banyak sampai-sampai air dalam kolam itu menjadi berwarna hijau yang mengeluarkan buih-buih mengerikan dan berbau menjijikkan. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa penduduk Karimun yang selalu menjaga kebersihan lautnya memperlakukan sampah mereka seperti ini. Dibuang begitu saja ke sebuah kolam. Kurasa kalau ada makhluk hidup yang tercebur ke dalam sana, begitu keluar akan menjadi seorang mutan. Hanya sebuah khayalan tentunya.
Tanpa terasa, alun-alun sudah di depan mata. Di balik sana terlihat hamparan laut yang luas dan kapal-kapal nelayan yang sedang berlabuh. Kulihat Beberapa anak sedang bermain sepak bola di sana. Pemandangan yang menarik namun sebenarnya ini adalah sebuah masalah karena menurut peta, seharusnya guest house kami terletak sebelum alun-alun. Sepertinya kami telah melewatkannya jadi kami menelusuri kembali jalan yang kami lalui dan memerhatikan setiap rumah dengan baik. Di sebelah kanan terdapat tempat penyewaan sepeda dan alat-alat snorkling. Di situ tertulis ’penyewaan satu set alat snorkle Rp 35,000.’ Kemudian ada sebuah bangunan tua yang bertuliskan ’Telkom’ namun tampak tak terurus dan kelihatannya juga sudah terbengkalai. Di seberangnya terdapat tempat kosong luas dengan beberapa drum besar yang tutupnya terikat kuat dengan tali tambang. Belakangan aku mengetahui bahwa itu adalah Tempat Pelelangan Ikan. Satu hal yang tidak kulihat adalah bank. Sungguh aneh karena sebelumnya untuk memesan kamar guest house, kami sempat membayar uang muka dan men-transfer-nya lewat bank. Hal itu menjadi perdebatan di antara kami apakah si pemilik mengambil uangnya di Jepara atau mungkin ada bank di tempat yang belum kami ketahui di sini.
Kemudian kami melihat sebuah bangunan yang memiliki tiang berukiran batik. Sekilas kami mengingat brosur dari guest house Karimun Indah yang pernah kami lihat dulu juga menunjukkan bahwa bangunan mereka juga memiliki tiang yang berukiran seperti ini. Kami mencoba mencari tanda nama dari bangunan ini dan ternyata benar. Terdapat tulisan dari cat yang sepertinya sudah luntur yang mengatakan ’Guest House Karimun Indah.’ Wajar saja kami tidak bisa menemukannya ketika pertama kali melewatinya.
Kuketuk pintunya dan mengucapkan salam. Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita yang segera mempersilakan kami masuk. Di dalam, kami langsung mengatakan bahwa kami telah memesan tempat ini sebulan sebelumnya dan jika masih ada satu kamar lagi, maka kami ingin menyewanya untuk mas Ryan. Sayang selain kamar yang telah kami pesan, tidak ada lagi kamar yang kosong untuk mas Ryan. Namun mereka mengatakan bahwa besok akan ada salah seorang pengunjung yang pulang jadi kami langsung memesan kamar itu dan sementara untuk malam ini, mas Ryan terpaksa harus menyewa kamar di guest house lain. Maka berangkatlah dia untuk mencari kamar yang masih kosong.
Kami menyewa dua kamar. Satu kamar di depan yang memiliki jendela untuk para perempuan dan satu kamar di belakang yang tidak memiliki jendela untuk para lelaki. Begitu masuk, yang langsung kami amati adalah kasurnya. Itu adalah kasur yang sangat kecil dan untuk tidur bertiga tentu saja akan sangat sulit karena badan kami yang memang besar-besar. Para perempuan mungkin bisa tidur bertiga di kasur ini dengan badan mereka yang kecil, tapi kami tidak. Dengan bijak Aji langsung mengusulkan sesuatu.
”Bagaimana kalau malam ini aku tidur di bawah, lalu malam kedua Pram dan malam ketiga kowe. Cukup adil kan?”
Ide yang masuk akal, jadi kami langsung menerimanya. Tapi setelah mengamati kamar itu sekali lagi, kami menemukan bahwa kami tidak dapat menemukan kipas angin dimanapun. Sungguh gila jika kami harus tidur di dalam kamar kecil pengap yang tak memiliki jendela dengan ditemani para nyamuk tanpa menggunakan kipas angin. Maka aku langsung meminta kipas angin pada pemilik guest house ini. Tak berapa lama kemudian, dia masuk ke kamar kami dan membawakan kipas angin besar yang ukurannya kira-kira separuh tubuh Aji. Itulah yang menjadi satu-satunya kebanggaan dari kamar kami dan kami selalu menyombongkannya pada para perempuan karena mereka hanya memiliki kipas angin kecil yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dari telapak tanganku.
Setelah semua barang sudah dibereskan, kami langsung berkumpul di ruang tengah. Di sana sudah disediakan welcome drink berupa teh hangat untuk kami. Setelah semua meminumnya, aku bertanya pada perempuan jika mereka ingin mandi, terutama Ratna yang memang sejak turun dari kapal selalu merengek ingin mandi begitu sampai di guest house. Namun Ratna malah mengatakan sesuatu yang mengheranku.
”Aku nanti saja, lagipula masih belum terlalu sore kok.”
”Belum terlalu sore?” Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17:00. Aku jadi penasaran seperti apa definisi sore baginya, tapi karena aku sendiri juga sudah merasa gatal untuk mandi, aku tidak menghiraukannya lagi dan langsung pergi ke kamar mandi. Hanya terdapat dua kamar mandi di sini yang bisa kami gunakan. Aku menggunakan satu di sebelah kiri karena sebelah kanan sudah diisi oleh entah siapa.
Begitu aku masuk kamar mandi, tiba-tiba lantainya terasa miring. Kupikir hanya perasaan namun tak berapa lama kemudian, aku langsung merasa bahwa kamar mandi ini berputar dan sesaat aku merasa bahwa aku sedang berada di atas KM Muria kembali. Rupanya inilah yang disebut trauma. Perasaan tidak nyaman yang kurasakan di dalam kapal tadi masih bisa kurasakan karena saat itu aku benar-benar sangat tersiksa dan ingatanku masih belum bisa menghapusnya. Begitu aku dan teman-temanku selesai mandi aku langsung menceritakan apa yang kurasakan di kamar mandi tadi dan sebagian dari mereka juga mengaku merasakan hal yang sama.
Aku langsung mendiskusikan dengan mereka tentnag mengapa perjalanan dengan kapal itu terasa sangat menyiksa, kemudian mencoba untuk menemukan cara untuk menghadapinya empat hari lagi. Jujur, beberapa dari kami masih sedikit trauma dan benar-benar malas jika harus memikirkan untuk menaiki kapal itu lagi. Akhirnya setelah berdiskusi beberapa menit, kami berhasil menemukan tiga kemungkinan.
Yang pertama adalah kapal itu tidak memiliki pemecah gelombang sehingga kapal akan dengan mudah diombang-ambingkan oleh gelombang bahkan oleh gelombang yang kecil sekalipun. Yang kedua adalah kapal itu berukuran sangat kecil. Jauh sekali jika dibandingkan dengan ferry yang melintasi merak yang benar-benar kokoh dan kuat. Yang ketiga adalah jumlah penumpang yang tidak bisa memenuhi kapal dan beban di dasar kapal, yaitu kendaraan bermotor, yang tidak seimbang dan juga tidak penuh. Akibatnya tentu saja kapal jadi tidak memiliki massa yang cukup untuk menghadapi keganasan laut.
Kemudian kami juga menyimpulkan bahwa goncangan kapal itu akan lebih terasa jika berada di pinggir kapal, di tempat kami duduk tadi, jadi kami semua memutuskan untuk memilih tempat di tengah di geladak atas kapal jika kami menaiki kapal itu lagi.
Namun satu hal yang aneh, saat kami sedang mendiskusikan semua hal ini, kulihat Ratna masih duduk dengan santai di kursi tamu dan dia juga masih belum mandi. Padahal sedari turun kapal, dialah yang paling gatal untuk mandi dan saat itu semua temanku juga sudah mandi. Jadi kuputuskan untuk bertanya padanya.
”Na, kamu nggak mandi?”
”Nanti aja deh, baru juga pukul 15:00 kan”
”Hah? Pukul 15:00?”
”Nah itu jamnya begitu.” Sambil menunjuk sebuah jam di tembok yang memang menunjukkan pukul 15:00.
Sontak aku jadi sadar dan langsung berkata, ”Itu jam udah mati Na, sekarang ini sudah pukul 18:00. Nih lihat!” Sambil menunjukkan jam tanganku.
Dan barulah dia sadar kalau dia telah ditipu oleh jam dinding. Begitulah Ratna, selalu bisa dibohongi bahkan oleh benda mati sekalipun. Setelah Ratna memutuskan untuk mandi, aku berkeliling rumah ini dan aku jadi menyadari bahwa rumah ini memiliki empat jam dinding dan keempatnya telah mati.
Komentar
Posting Komentar
jangan lupa kasih komentar ya?
makasih atas komentarnya,, pasti akan sangat bermanfaat :)