Reaksi Menonton Soekarno dan Permasalahan Apresiasi di Indonesia
Selesai menonton film Soekarno beberapa hari yang lalu, tanpa sadar aku bertepuk tangan sangat kencang. Jujur, aku sungguh kagum dengan karya terbaru Hanung Bramantyo tersebut. Film Soekarno dibuat dengan tata produksi yang amat megah, sekelas film Hollywood.Adegan-adegan colossal, seperti adegan dimana Soekarno membuat pidato pertamanya dan ketika membacakan pledoi fenomenal Indonesia Menggugat sungguh luar biasa dan tidak terasa awkward sedikitpun. Kebanyakan adegan yang ditampilkan pun sudah sangat sesuai dengan biografi Soekarno yang ditulis oleh Cindy Adams, dengan sedikit penambahan detail yang mungkin kontroversial, tapi tetap menarik, film-wise.
Adegan favoritku adalah adegan dimana Bung Karno dipaksa menjadi model dari poster promosi Romusha. Dalam adegan tersebut, Soekarno dipaksa untuk menunjukkan betapa mudah dan enaknya menjadi Romusha dengan cara memacul tanah sambil tersenyum. Padahal di sekitarnya, Bung Karno melihat banyak sekali rakyat-rakyatnya yang mati karena kelelahan bekerja, yang mayatnya kemudian hanya ditaruh di gerobak layaknya rongsokan bekas. Bung Karno tahu betul bahwa dengan menyetujui menjadi model foto Romusha, akan semakin banyak lagi rakyat-rakyatnya yang tertarik bergabung dengan Romusha dan mendapati nasib yang sama. Namun Bung Karno tetap harus melakukannya agar Jepang mau membantu memberikan kemerdekaan Indonesia. Bagi Bung Karno, dia bisa mengorbankan 100 atau 200 orang, asalkan Indonesia bisa merdeka. Itu jauh lebih baik daripada seluruh warga Indonesia dibantai oleh kekejaman tentara Jepang.
Jujur aku tidak menyangka bahwa Hanung Bramantyo akan menampilkan adegan tersebut di film-nya, sebab itu sama saja menunjukkan ke khalayak luas bahwa Bapak Pendiri Negara kita adalah seorang Japanese Collaborator, seseorang yang berpihak pada penjahat perang. Akan tetapi aku juga tidak menyangka kalau Bung Karno sendiri yang akan mengakui perbuatannya itu di biografinya, jadi kurasa Bung Karno sendiri juga merasa tidak masalah jika khalayak luas mengetahui hal ini. Yang jelas, adegan tersebut berhasil tersampaikan dengan baik melalui akting Ario Bayu yang berhasil menunjukkan ekspresi amarah, kesedihan, sekaligus kerelaan yang ditunjukkan Bung Karno ketika dipaksa tersenyum menyaksikan rakyat-rakyatnya diperlakukan layaknya rongsokan bekas. Bagiku, hal ini menunjukkan betapa besarnya jiwa Bung Karno sebagai seorang pemimpin dan Ario Bayu jelas boleh mendapat pujian untuk itu.
Oleh sebab itu, tentu tidak aneh jika seusai menonton Bung Karno aku langsung bertepuk tangan sekencang-kencangnya. Akan tetapi, aku kemudian langsung merasa sedih, karena menyadari bahwa aku adalah satu-satunya orang yang bertepuk tangan di ruangan teater itu. Aku jadi sedih karena sesudah end credit ditayangkan, orang-orang yang menonton segera berlalu begitu saja, tanpa memberikan apresiasi sedikitpun. Aku jadi tidak mengerti, apa yang salah dengan orang-orang ini?
Setelah beberapa hari, aku jadi mulai berpikir apakah mungkin bangsa Indonesia tidak memiliki budaya untuk mengapresiasi karya seseorang? Semakin dipikir, rasanya semakin masuk akal, sebab kita tentu mengetahui bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk mengapresiasi mereka yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang baru dicetuskan pada tahun 1959. Itu berarti bahwa lebih dari 10 tahun negeri ini merdeka, barulah kita terpikirkan untuk mengapresiasi orang-orang yang berjasa bagi kemerdekaan kita. Lebih kacaunya lagi, dua proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional sampai tahun lalu. Itu juga belum menghitung orang-orang seperti Tan Malaka, yang jasanya selamanya hanya akan diketahui oleh segelintir kutu buku dan aktivis kiri yang suka membeli buku bajakan di daerah Pasar Senen.
Film-film biopik yang dibuat oleh orang-orang seperti Hanung Bramantyo adalah salah satu bentuk apresiasi yang sangat besar kepada orang-orang yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui film, orang-orang dapat mengetahui jasa-jasa yang telah diberikan pahlawan-pahlawan kita. Lebih lagi, film telah diketahui mampu menarik massa yang jauh lebih besar dan variatif daripada buku. Anak-anak yang baru lahir di tahun 90-an, orang-orang dewasa yang tidak pernah bersekolah, sampai orang-orang yang buta huruf, semua akan mampu menikmati film ini dan mereka akan mengetahui jasa-jasa atau pemikiran dari pahlawan-pahlawan kita. Itulah sebabnya, film semacam ini perlu mendapatkan apresiasi sebesar-besarnya, agar si pembuat film mau membuat film sejenis lagi, dan mengisi permasalahan kurangnya apresiasi yang diberikan oleh negeri ini pada pahlawan-pahlawannya.
Ke depannya , aku ingin menonton film dengan gaya serupa Soekarno, yang mampu memotret jasa-jasa Bung Hatta, Bung Sjahrir, bahkan Tan Malaka sekalipun, dan seperti apapun hasilnya aku pasti akan menjadi orang yang bertepuk tangan paling kencang di ruang teater.
(Sedikit catatan: jika Rachmawati mengeluhkan bahwa film Soekarno mereduksi history menjadi story dan terdapat adegan-adegan yang merupakan fantasi sutradara, ya memang itulah esensi dari film. Film memang harus mendramatisasi sesuatu yang kaku, seperti sejarah, agar dapat menarik minat penonton. Untuk melakukan itulah, maka fantasi sutradara akan dibutuhkan. Jika sebuah film dipaksakan harus mengikuti fakta sejarah secara akurat, maka film itu tidak akan ada bedanya dengan film dokumenter yang membosankan bagi sebagian orang, tidak termasuk saya haha.)
Ario Bayu, berperan sebagai Soekarno, di area kerja Romusha |
Jujur aku tidak menyangka bahwa Hanung Bramantyo akan menampilkan adegan tersebut di film-nya, sebab itu sama saja menunjukkan ke khalayak luas bahwa Bapak Pendiri Negara kita adalah seorang Japanese Collaborator, seseorang yang berpihak pada penjahat perang. Akan tetapi aku juga tidak menyangka kalau Bung Karno sendiri yang akan mengakui perbuatannya itu di biografinya, jadi kurasa Bung Karno sendiri juga merasa tidak masalah jika khalayak luas mengetahui hal ini. Yang jelas, adegan tersebut berhasil tersampaikan dengan baik melalui akting Ario Bayu yang berhasil menunjukkan ekspresi amarah, kesedihan, sekaligus kerelaan yang ditunjukkan Bung Karno ketika dipaksa tersenyum menyaksikan rakyat-rakyatnya diperlakukan layaknya rongsokan bekas. Bagiku, hal ini menunjukkan betapa besarnya jiwa Bung Karno sebagai seorang pemimpin dan Ario Bayu jelas boleh mendapat pujian untuk itu.
Oleh sebab itu, tentu tidak aneh jika seusai menonton Bung Karno aku langsung bertepuk tangan sekencang-kencangnya. Akan tetapi, aku kemudian langsung merasa sedih, karena menyadari bahwa aku adalah satu-satunya orang yang bertepuk tangan di ruangan teater itu. Aku jadi sedih karena sesudah end credit ditayangkan, orang-orang yang menonton segera berlalu begitu saja, tanpa memberikan apresiasi sedikitpun. Aku jadi tidak mengerti, apa yang salah dengan orang-orang ini?
Setelah beberapa hari, aku jadi mulai berpikir apakah mungkin bangsa Indonesia tidak memiliki budaya untuk mengapresiasi karya seseorang? Semakin dipikir, rasanya semakin masuk akal, sebab kita tentu mengetahui bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk mengapresiasi mereka yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia adalah sesuatu yang baru dicetuskan pada tahun 1959. Itu berarti bahwa lebih dari 10 tahun negeri ini merdeka, barulah kita terpikirkan untuk mengapresiasi orang-orang yang berjasa bagi kemerdekaan kita. Lebih kacaunya lagi, dua proklamator Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional sampai tahun lalu. Itu juga belum menghitung orang-orang seperti Tan Malaka, yang jasanya selamanya hanya akan diketahui oleh segelintir kutu buku dan aktivis kiri yang suka membeli buku bajakan di daerah Pasar Senen.
Film-film biopik yang dibuat oleh orang-orang seperti Hanung Bramantyo adalah salah satu bentuk apresiasi yang sangat besar kepada orang-orang yang berjasa bagi kemerdekaan Indonesia. Melalui film, orang-orang dapat mengetahui jasa-jasa yang telah diberikan pahlawan-pahlawan kita. Lebih lagi, film telah diketahui mampu menarik massa yang jauh lebih besar dan variatif daripada buku. Anak-anak yang baru lahir di tahun 90-an, orang-orang dewasa yang tidak pernah bersekolah, sampai orang-orang yang buta huruf, semua akan mampu menikmati film ini dan mereka akan mengetahui jasa-jasa atau pemikiran dari pahlawan-pahlawan kita. Itulah sebabnya, film semacam ini perlu mendapatkan apresiasi sebesar-besarnya, agar si pembuat film mau membuat film sejenis lagi, dan mengisi permasalahan kurangnya apresiasi yang diberikan oleh negeri ini pada pahlawan-pahlawannya.
Ke depannya , aku ingin menonton film dengan gaya serupa Soekarno, yang mampu memotret jasa-jasa Bung Hatta, Bung Sjahrir, bahkan Tan Malaka sekalipun, dan seperti apapun hasilnya aku pasti akan menjadi orang yang bertepuk tangan paling kencang di ruang teater.
Komentar
Posting Komentar
jangan lupa kasih komentar ya?
makasih atas komentarnya,, pasti akan sangat bermanfaat :)