Petualangan, Part II
Medan pertama, cukup baik-baik saja karena ini memang biasa saja. Aku pernah melalui yang tidak lebih baik dari mendan ini. Meskipun, sebenarnya aku cukup khawatir melalui medan ini karena ketidakseimbanganku. Apalagi di tengah perjalan di medan ini, hujan turun yang artinya jalanan medan ini menjadi basah dan licin yang benar-benar bisa memunculkan penyakit ketidakseimbanganku. Sebenarnya, dalam perjalanan aku berharap medan ini tidak terlalu panjang karena ya begitulah (ada sesuatu yang membahayakan diriku sendiri). Di medan ini, kita sempat menjumpai jembatan yang juga jadi objek foto kita. Hihihihi aku baru sadar saat berhenti di atas jembatan aku ngga teriak-teriak. Padahal kan biasanya kalau di atas jembatan yang kaya gitu aku udah melarikan diri cepat-cepat menyeberanginya dan menghindarinya.
Medah kedua, (aku lupa) yang jelas medan-medan berikutnya itu hutan dengan jalan kecil dan kita juga harus melewati beberapa sungai (jelas tidak aku harapkan melewati sungai di atas sebatang kayu karena sekali lagi aku alergi keseimbangan). Nah, waktu sungai pertama itu, aku baru lihat aja udah lemes. Gimana ngga coba, aku harus ngelewati sebatang kayu bundar, buat nyeberangi itu sungai di mana keadaanku paling susah buat seimbang paling ngga pernah berhasil melewati halang rintang jalan di atas bambu. Tapi, aku bukan penyerah begitu saja. Aku nunggu tante Riang yang saat itu ada di depanku buat menyelesaikan penyeberangannya dulu. Lalu, dia berhenti di tepi daratan dan berniat baik membantu aku. Namun, aku tolak dan aku pinta dia minggir karena aku mau menyeberangi dengan selamat. Dan yap, aku berhasil. Tahu dengan cara apa? Aku lari. Haha. Itu sih teoriku sendiri, kalau pelan-pelan pasti aku udah jatuh basah kuyup dan bakal dapat hukuman di rumah lebih panjang. Tapi, keberuntungan tidak berpihak pada Kak Ajeng, dia jatuh dan basah deh, untung sungainya ngga dalam dan ngga begitu deras.
Lalu, kita lanjutin perjalan, dan ada sungai lagi. Aku lihat ada yang lepas sandal, ada yang tidak. Dan aku ngga lepas sandal. Terus, ketemu sungai lagi, aku lihat pada ngga lepas sandal, yaudah aku juga ngga lepas. Tapi, tiba-tiba waktu menyeberangi sungai, oops,sandalku terbawa arus. Aku sih, cuma diem melihat itu sandal terbawa arus. Aku udah pasrah aja deh, melihat banyak batu, dan memperhitungkan kemungkinan kalau kau mengejar itu sandal apakah bisa aku dapat apa ngga. Dan aku menyimpulkan ngga bakal bisa aku kejar. Dan terlalu beresiko, kalau aku kejar,:
pertama aku kepleset terus jatuh (udah biasa),
kedua aku kepleset,jatuh luka parah(biasa juga),
ketiga, aku kepleset, jatuh, kebawa arus (pasti aku ilang, karena ngga bisa renang hehe)
keepat, aku jatuh, hilang, ngga ditemukan, atau mati disitu (aku tahu aku berlebihan).
Dan dari kemungkinan-kemungkinan itu, aku menyimpulkan lagi, yang susah ntar ngga cuma aku, tapi temen-temenku juga. Jadi, biar mereka ngga susah (karena aku udah sering nyusahin), aku ikhlasin aja itu sandal.
Eh, tapi si Lulu’ yang jalan di belakangku malah mencoba menyelamatkan sandalku, tapi gagal, dan dilanjutin Kak Gema, eh berhasil. Waktu mereka mau ngambil itu sandal, aku bilang ngga perlu diambil (entah ada yang dengar atau tidak). –makasih sudah menyelamatkan sandalku-. Setelah kejadian, itu, kalau mau lewat sungai, sandalku selalu aku lepas. Haha.
-bersambung...
Medah kedua, (aku lupa) yang jelas medan-medan berikutnya itu hutan dengan jalan kecil dan kita juga harus melewati beberapa sungai (jelas tidak aku harapkan melewati sungai di atas sebatang kayu karena sekali lagi aku alergi keseimbangan). Nah, waktu sungai pertama itu, aku baru lihat aja udah lemes. Gimana ngga coba, aku harus ngelewati sebatang kayu bundar, buat nyeberangi itu sungai di mana keadaanku paling susah buat seimbang paling ngga pernah berhasil melewati halang rintang jalan di atas bambu. Tapi, aku bukan penyerah begitu saja. Aku nunggu tante Riang yang saat itu ada di depanku buat menyelesaikan penyeberangannya dulu. Lalu, dia berhenti di tepi daratan dan berniat baik membantu aku. Namun, aku tolak dan aku pinta dia minggir karena aku mau menyeberangi dengan selamat. Dan yap, aku berhasil. Tahu dengan cara apa? Aku lari. Haha. Itu sih teoriku sendiri, kalau pelan-pelan pasti aku udah jatuh basah kuyup dan bakal dapat hukuman di rumah lebih panjang. Tapi, keberuntungan tidak berpihak pada Kak Ajeng, dia jatuh dan basah deh, untung sungainya ngga dalam dan ngga begitu deras.
Lalu, kita lanjutin perjalan, dan ada sungai lagi. Aku lihat ada yang lepas sandal, ada yang tidak. Dan aku ngga lepas sandal. Terus, ketemu sungai lagi, aku lihat pada ngga lepas sandal, yaudah aku juga ngga lepas. Tapi, tiba-tiba waktu menyeberangi sungai, oops,sandalku terbawa arus. Aku sih, cuma diem melihat itu sandal terbawa arus. Aku udah pasrah aja deh, melihat banyak batu, dan memperhitungkan kemungkinan kalau kau mengejar itu sandal apakah bisa aku dapat apa ngga. Dan aku menyimpulkan ngga bakal bisa aku kejar. Dan terlalu beresiko, kalau aku kejar,:
pertama aku kepleset terus jatuh (udah biasa),
kedua aku kepleset,jatuh luka parah(biasa juga),
ketiga, aku kepleset, jatuh, kebawa arus (pasti aku ilang, karena ngga bisa renang hehe)
keepat, aku jatuh, hilang, ngga ditemukan, atau mati disitu (aku tahu aku berlebihan).
Dan dari kemungkinan-kemungkinan itu, aku menyimpulkan lagi, yang susah ntar ngga cuma aku, tapi temen-temenku juga. Jadi, biar mereka ngga susah (karena aku udah sering nyusahin), aku ikhlasin aja itu sandal.
Eh, tapi si Lulu’ yang jalan di belakangku malah mencoba menyelamatkan sandalku, tapi gagal, dan dilanjutin Kak Gema, eh berhasil. Waktu mereka mau ngambil itu sandal, aku bilang ngga perlu diambil (entah ada yang dengar atau tidak). –makasih sudah menyelamatkan sandalku-. Setelah kejadian, itu, kalau mau lewat sungai, sandalku selalu aku lepas. Haha.
-bersambung...
ini foto di jembatan
Komentar
Posting Komentar
jangan lupa kasih komentar ya?
makasih atas komentarnya,, pasti akan sangat bermanfaat :)